tentang karir
akuntan. Ada semacam persepsi umum bahwa: seorang akuntan yang tidak
peranh bekerja di Kantor Akuntan Publik (KAP) adalah pecundang.
Anggapan ini seolah-olah mengatakan bahwa berkarir di dunia akuntansi tetapi belum pernah bekerja di KAP sesungguhnya tidak berkarir. Benarkah demikian?
Entah sejak kapan persepsi ‘
Akuntan-Yang-Tidak-Bekerja-di-KAP-adalah-Pecundang’
ini mulai beredar. Siapa yang menghembuskannya pertamakali juga tidak
jelas. Yang jelas anggapan ini sudah menjalar hingga ke
mahasiswa-mahasiswi akuntansi, terutama di universitas-universitas besar
di Indonesia.
Saya pernah bekerja di KAP tetapi tak pernah berpikir seperti itu.
Pada kenyataannya, justru saya bertahan hanya sebentar di sana (sekitar 5
tahunan), bosan, lalu pindah jalur. 10 tahun lainnya saya berada di
luar KAP—hingga saat ini. Aneh ya ada akuntan yang bosan kerja di KAP?
Sesungguhnya tidak, jika anda sudah baca tulisan saya ini hingga
selesai.
Anggapan ‘Akuntan-Yang-Tidak-Bekerja-di-KAP-adalah-Pecundang’ ini
tidak 100% buruk juga tidak 100% baik. Pengalaman saya menunjukan bahwa
anggapan ini lebih banyak keliru dibandingkan benarnya. Lebih banyak
sisi buruk dibandingkan sisi baiknya.
Saya tidak menafikan bahwa bekerja di KAP memang menantang (untuk
beberapa tahun). Untuk bisa diterima bekerja di KAP yang memiliki
reputasi tinggi (macam KPMG, PwC, Ernst & Young atau Deloitte
Touche, bukanlah sesuatu yang mudah. Didukung oleh sistim perekrutan
yang sudah sangat mapan—berpengalaman puluhan (jika tidak ratusan)
tahun, ditambah oleh kemapanan financial, KAP bereputasi tinggi tidak
semabarangan menerima akuntan—bahkan untuk level junior sekalipun.
Tentu, mencoba membidik karir yang dianggap sulit adalah
bagus—terutama untuk pemuda/pemudi yang baru atau baru akan menapaki
karir di akuntansi.
Menjadi bagus, setidaknya untuk 2 alasan berikut ini:
1. Merasa tertantang adalah energi positif yang bisa membuat
seseorang (rata-rata orang) menjadi selalu bersemangat dan antusias.
2. Kebiasaan ‘bekerja-dengan-standar-mutu-tinggi’ akan terus terbawa
hingga di perjalanan karir berikutnya (jika tidak tertimbun selamanya di
sana).
Hanya 2 hal itu yang bisa saya lihat sebagai sisi baik (positif). Sedangkan sisanya hanya sisi buruk (negatif)-nya.
Secara umum, menjadi auditor di KAP—dimanapun itu, hanya bekerja diseputaran “mengutak-atik” isi laporan
keuangan.
Mencari tahu apakah laporan keuangan klien yang di audit sudah sesuai
dengan standar akuntansi yang berlaku atau tidak, lalu memberikan
pendapat: wajar, wajar dengan catatan, atau tidak wajar. Tak lebih dari
itu. Ditindih oleh desakan deadline—dimana rata-rata KAP seperti itu,
waktu untuk belajar sesuatu yang lain nyaris tidak ada.
Memang, pekerjaan di KAP tidak selalu auditing. Bisa jadi kompilasi,
atestasi, dan seterusnya. Tetapi sekalilagi aktivitasnya hanya seputaran
laporan keuangan—mulai dari jurnal, buku besar, neraca percobaan hingga
laporan keuangan (komersial maupun fiscal). Sudah itu saja. Sekalilagi,
ini bagus untuk pemula—agar skill menjurnal dan mengutak-atik laporan
keuangan semakin mantap.
Padahal, dunia akuntansi dan keuangan dalam skup yang lebih luas
tidak sesempit itu. Urusan akuntansi dan keuangan bukan sekedar
‘otak-atik laporan keuangan’. Bukan sekedar melakukan penilaian apakah
perlakuan akuntansi suatu perusahaan sudah sesuai standar atau tidak.
Saya pribadi, setelah 5 tahun bekerja di KAP sudah tidak menemukan
tantangan lagi. Saya merasa itu tidak cukup. Bertahan bekerja di KAP
adalah belenggu bagi potensi kemampuan dan kapasitas saya. Dasar
pertimbangan yang paling kuat mendesak saya untuk tidak bekerja di KAP
lagi adalah karena satu alasan yang bagi saya sangat mendasar, yaitu: Di
KAP hanya tahu data yang sudah jadi (entah itu berupa nota, bahkan
sudah berupa jurnal)—tanpa tahu bagaimana transaksi keuangan dalam
bisnis sesuangguhnya terjadi.
Sehingga, bisa saya katakana bahwa: menjadi seorang auditor di KAP
sesungguhnya hanya cocok untuk mereka yang masih ingin belajar
mematangkan pemahaman menganai jurnal, buku besar, dan laporan
keuangan—yang sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku. Tetapi tidak
sesuai untuk mereka yang sudah melewati fase tersebut.
Membandingkan pengalaman saya di dalam dan di luar KAP menunjukan betapa pentingnya memahami “
apa sesunggungnya di balik angka-angka di jurnal dan laporan keuangan itu?”. Jauh lebih penting dibandingkan sekedar mengetahui apakah suatu laporan keuangan sudah sesuai standar akuntansi atau belum.
Mengapa?
1. Akuntansi tidak ada fungsinya jika tidak ada bisnis atau
perusahaan (apa yang mau dijurnal, dihitung dan dilaporkan jika tidak
ada aktivitas binis atau usaha?).
2. Para pelaku usaha tak peduli apakah laporan keuangan mereka sesuai
standar akuntansi atau tidak. Mau dicatat seperti apa, mau dihitung
menggunakan metode apa, mau dilaporkan dengan format penyajian seperti
apa, silahkan saja, samasekali tak penting bagi mereka. Yang mereka
pedulikan cuma satu yaitu: PERUSAHAAN UNTUNG.
3. Di perusahaan-perusahaan yang sudah go publik, mungkin manajemen
atau board director merasa senang bila Laporan Laba Rugi mereka
menunjukan laba—apalagi jika labanya terus meningkat dari
waktu-ke-waktu. Investor mungkin juga tertarik. Akan TETAPI, apakah
pemegang saham yang sudah ada pasti senang? Tidak. Mereka tak peduli
laporan keuangan. Yang mereka pedulikan hanya satu, yaitu:
DIVIDEN—apakah perusahaan bagi dividen atau tidak, berapa besarnya?
Dari 3 fakta tersebut, menurut pandangan saya:
dibandingkan sekedar menjurnal, membuat laporan keuangan, melakukan
penilaian apakah laporan keuangan sudah sesuai standar atau tidak, JAUH
LEBIH BERHARGA DAN MEMBANGGAKAN jika seorang akuntan bisa:
1. Mencegah Kerugian – Mengetahui lebih awal
mengenai potensi risiko bisnis sekaligus memberikan rekomendasi untuk
melakukan pencegahan kerugian dengan menggunakan data keuangan dan
non-keuangan (operasional).
Apakah seorang auditor di KAP menjalankan fungsi itu?
Saya rasa tidak. Fungsi seperti itu biasanya dilakukan oleh seorang
internal auditor (di bawah supervise seorang controller). Auditor di KAP
lebih banyak bekerja menggunakan data-data historis (yang transaksi
bisnisnya sudah terjadi).
2. Mendorong Efisiensi dan Produktifitas –
Memberikan masukan-masukan (melalui analisa data akuntansi dan keuangan)
untuk meningkatkan efisiensi tanpa menghambat produktifitas dalam
opersional perusahaan. Fungsi seperti ini hanya bisa dijalankan oleh
mereka yang memahami business best practice—praktek berbisnis mulai dari
perencanaan hingga opersional—yang sifatnya spesifik antara satu usaha
dengan usaha lainnya.
Apakah seorang auditor (bahkan yang sudah berlevel partner sekalipun) punya kapasitas ini? Saya meragukannya. Kemampuan ini tidak diperoleh dari memahami standar akuntansi yang menjadi kitab sucinya para auditor
3. Memitigasi Masalah Keuangan – Menemukan akar
masalah sekaligus memberikan rekomendasi solusi yang ampuh untuk
mengatasi masalah dalam suatu bisnis (usaha). Mampu mengetahui dimana
akar masalah keuangan yang terjadi—apakah di struktur modal, di
perencanaan, di opersional, atau di pengawasan. Selanjutnya memberikan
rekemndasi bagaimana cara mengatasinya. Terakhir memberi contoh
implementasi sekaligus mengawal agar implementasi bisa berjalan sesuai
yang diharapkan—dan masalah bisa diatasi.
Apakah seorang auditor di KAP mampu melakukannya? Saya tidak yakin.
Tiga fakta dasar ditambah dengan tiga orientasi baru inilah yang
ingin saya tawarkan kepaka teman-teman yang sedang atau akan berkarir di
dunia akuntansi.
Bukan berarti memulai karir di kantor akuntan publik (KAP) adalah
suatu kekeliruan atau buruk. Samasekali bukan. Yang keliru adalah
menetapkan karir di KAP sebagai tujuan akhir. Sebaliknya, menjadi
auditor di KAP seharusnya hanya batu loncatan—untuk mematangkan skill
teknis menjurnal dan implementasi standar akuntansi saja. Selanjutnya
harus ditinggalkan (jangan mengubur diri di sana untuk selamanya), jika
ingin menuju ke level yang lebih tinggi, mulai belajar mencari ARTI DI
BALIK ANGKA-ANGKA di laporan keuangan dengan cara belajar memahami
opersional bisnis (perusahaan) yang sesungguhnya.
Itulah karir seorang akuntan yang paling ideal menurut saya.
Saya percaya setiap orang memiliki pola berpikir serta cara menilai
yang berbeda. Setiap orang menjalankan karirnya sesuai dengan apa yang
diyakininya baik. Tak ada yang salah dengan semua itu. Yang salah adalah
‘merasa’ lebih baik dibandingkan yang lain atau merasa lebih buruk
dibandingkan yang lain.
Untuk itu, bagi teman-teman yang kebetulan sedang tidak berkarir di
kantor akuntan publik (KAP), jangan pernah berkecil hati. Tidak menjadi
seorang auditor di KAP bukan berarti pecundang. Jika anda tidak mau
belajar—merasa puas hanya dengan jadi tukang jurnal di perusahaan, ya
memang jauh jika dibandingkan dengan seorang auditor. Sebaliknya, jika
mau berlajar lebih dari sekedar jadi tukang jurnal, saya yakin suatu
saat nanti kualitas dan pendapatan (gaji) anda jauh lebih tinggi
dibandingkan seorang auditor di KAP. Sukses selalu.
SUMBER ; JURNAL AKUNTANSI http://jurnalakuntansikeuangan.com/2011/10/akuntan-yang-tidak-bekerja-di-kap-adalah-pecundang/